SEJARAH BATIK KUDUS
DARI MASA KE MASA
ABAD 16
ABAD 17
Menurut catatan KRHT Hardjonagoro (Go Tik Swan) ahli batik dari Surakarta, batik mulai menemukan bentuk formalnya pada zaman Sultan Agung yaitu pada awal abad 17.
Corak dan motif batik Kudus sangat beragam karena pada masa itu pengrajin batik Kudus ada yang dari etnis keturunan Cina maupun pengrajin penduduk asli. Seorang pengrajin pada masa itu harus mengikuti pakem-pakem warisan leluhur untuk membuat satu buah kain batik, dipercaya dengan mengikuti tahapan-tahapan itu akan tercipta sebuah karya seni tinggi kain batik.
Berdasarkan riset, Batik Kudus mempunyai makna positif diantaranya Gabah Mawur yang melambangkan kesejahteraan suatu bangsa, Moto Iwak adalah simbol yang mempunyai makna kejelian dalam melihat atau berpikir, Mrutu Sewu artinya persatuan bangsa, Kembang Randu kemurahan sandang, dan motif Merak Katleya artinya pengaruh dari budaya cina yang melambangkan keanggunan. Makna batik aliran klasik Kudus tak hanya sekedar nilai sejarah. Tetapi lebih kepada filosofi hidup yang mengajarkan manusia tentang nilai-nilai kebaikan untuk dapat dilakukan sehari-hari baik dimulai dari diri sendiri maupun untuk orang lain.
ABAD 19
Sejalan perkembangan Batik Kudus, di awal 19 datanglah istri Residen Pati yang bernama nyonya Van Zuichlend. Beliau memperkenalkan warna-warna kimia. Warna yang paling terkenal adalah Babaran Chungkina, tiga tata warna, coklat hijau dan biru dan dikenal dengan nama Batik Dema’an. Pada perkembangan selanjutnya muncu tiga warna, yakni Kuning Coklat dan Orange. Apabila tiga warna tersebut, coklat hijau dan biru ditambah merah maka disebut Laseman.
TAHUN 1980
Sangat disayangkan bahwa pada tahun 1980an produksi batik Kudus mengalami penurunan. Industri batik rakyat semakin tersingkir oleh membanjirnya batik cap dan printing yang harganya jauh lebih murah dari batik kudus. Jumlah pembuat batik Kudus juga semakin sedikit karena generasi yang lebih muda lebih tertarik untuk bekerja sebagai buruh industri dan pabrik karena pekerjaannya tidak berat dan upah yang lebih tinggi. Batik Kudus hampir tidak dikenal lagi, ditinggalkan oleh komunitas pembuatnya dan pemakainya. Yang tertinggal hanya pembatik – pembatik senior berusia lebih dari 60 tahun, itupun jumlahnya bisa dihitung dengan jari.
TAHUN 2005
Pada tahun 2005, Niamah yang saat itu berusia 70 tahun merupakan satu-satunya perajin batik Kudus yang masih hidup. Dan dari situlah, ada pihak terkait langsung mengadakan pelatihan yang diikuti 20 orang yang diajari membatik langsung oleh Niamah, termasuk Yuli Astuti sebagai pesertanya.
Yuli Astuti merupakan salah satu dari sekian ratus pengusaha sukses di Kudus yang merintis usahanya dari nol. Kegigihannya membangun usaha yang sekaligus menyelamatkan motif batik khas Kudus dari kepunahan 10 tahun silam, ternyata membawa dirinya pada kesuksesan dan menjadi sosok yang menginspirasi.
TAHUN 2011 - SEKARANG
Memasuki tahun 2011 pengrajin dan produksi Batik Kudus mulai menggeliat lagi. Dari hasil pembinaan pengrajin batik kudus yang dilakukan oleh Bakti Budaya Djarum Foundation, Batik Kudus pun memasuki era baru dengan melakukan pengembangan motif, akan tetapi tetap menjaga pakem kekhasan dari Batik Kudus.