Dalam acara membatik bersama yang diadakan sebuah perusahaan keretek besar di sebuah gelanggang olahraga di Kudus, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu, ratusan mahasiswa dan mahasiswi terlihat asyik membatik.
Dengan antusias, lengkap dengan canting di tangan masing-masing, mereka mengguratkan motif-motif unik di selembar kain putih polos. Di depan mereka, kompor minyak yang menghangatkan wajah berisi lilin panas.
Di tengah kerumunan itu, seorang perempuan sibuk mondar-mandir memberikan arahan dan berbagi ilmu kepada para mahasiswa. Dialah Yuli Astuti.
Perempuan lajang berusia 31 tahun ini dikenal sebagai pelopor dan penggerak kebangkitan batik kudus yang selama puluhan tahun menghilang.
Kepada Media Indonesia, Yuli memaparkan bahwa sudah lebih dari 30 tahun batik kudus menghilang tanpa ada perajin dan pengusaha.
Batik kudus mengalami kejayaan di kisaran tahun 1930-an. Namun, batik khas ini semakin menghilang seiring waktu.
“Batik kudus semakin mengalami keterpurukan. Hingga di tahun 1975, batik kudus punah, tidak memiliki perajin dan pengusaha,” ungkap Yuli.
Salah satu pendorong kepunahan batik kudus antara lain berkembangnya industri keretek di kota tersebut. Masyarakat banyak beralih menjadi buruh rokok. Banyak usaha batik yang bangkrut dan masyarakat pun semakin tak punya minat dan geliat terhadap batik kudus.
Dulu, kata Yuli, ada sekitar 40 pengusaha batik kudus dan sempat mendirikan sebuah asosiasi. Namun, itu pun tak berbekas.
Kenyataan pahit itu membuat wanita kelahiran Kudus ini gerah. Dengan latar belakang keluarga pengusaha bordir pakaian dan latar pendidikan sekolah desain fesyen, Yuli memutuskan untuk serius menghidupkan batik kudus.
Paduan budaya
Kala itu, pada 2005, Yuli tidak sengaja bertemu seorang perajin batik kudus berusia 80 tahun. Dari sang perajin, Yuli belajar berbagai ilmu membatik, termasuk memperkaya jenis-jenis motif dan makna filosofisnya.
Yuli juga sempat mencari informasi sekaligus melakukan survei ke pabrik pembuatan pabrik di Solo hingga Yogyakarta guna mengetahui proses pembuatan batik tulis tradisional.
“Saya juga mengumpulkan berbagai motif asli kudus dari koleksi batik eyang saya, dan hunting ke berbagai daerah mencari motif-motif dari sesepuh di sekitar Kudus,” tambahnya.
Batik kudus sendiri, jelasnya, memiliki akar sejarah yang sangat panjang dalam khazanah batik nasional. Sejarah itu di antaranya tertuang dalam motif batik tiga negeri.
Dituturkan Yuli, motif ini dilakukan di tiga daerah (‘tiga negeri’) yang disimbolkan lewat warna khas. Merah di Lasem, serta biru dan violet di Kudus dan Pekalongan, juga warna soga dan hitam yang dilakukan di Solo dan Yogyakarta.
Batik kudus, kata Yuli, juga sebuah karya multikultural yang dipengaruhi budaya China dan Arab. Beberapa tecermin dalam motif-motif kaligrafi yang didominasi warna gelap, biru, dan hitam.
“Penuh dengan corak khas. Perpaduan kebudayaan China, Islam. Corak pesisiran dan perpaduan Mataram. Corak kaligrafinya bernapaskan Islam dan (menyimbolkan) Kudus sebagai kota religi,” katanya.
Perajin muda
Selain membuka usaha batik sendiri, Muria Batik Kudus, yang disebut-sebut sebagai pelopor kebangkitan batik kudus, Yuli gencar mengadakan pelatihan pembuatan batik dan berbagai ilmu batik kepada kalangan muda sejak 2005.
Awalnya, kenang Yuli, memang sulit karena minat kalangan muda terhadap batik cenderung rendah. Mereka juga menganggap usaha batik merupakan bidang usaha yang tidak menguntungkan.
Namun, Yuli terus memberikan pemahaman dan pelatihan tentang sebuah tradisi cantik yang perlu dibangkitkan. Kini ada 20 perajin muda di bawah binaannya.
“Pelatihan ditujukan ke anak-anak muda di kisaran SMA hingga menginjak (usia) 30-an tahun. Supaya mereka lebih paham pula mengenai produksi, diharapkan mereka bisa membuka usaha batik mereka sendiri kelak,” ungkapnya.
Selain pelatihan perajin, Yuli juga memasarkan batik kudus ke berbagai daerah di Indonesia lewat usahanya. Dia melakukan berbagai inovasi motif dengan mengangkat muatan budaya lokal menjadi desain kontemporer, termasuk berbagai motif seperti buket pari joto, pakis haji, dan keretek.
Yuli pun gencar berpromosi batik kudus lewat berbagai pameran. Dia juga sempat mewakili Indonesia dalam acara ASEAN Woman Corporative Forum di Thailand pada 2007 untuk memperkenalkan batik kudus.
Kini, selain memperjuangkan agar batik kudus masuk kurikulum muatan lokal di sekolah, Yuli juga menjadikan rumahnya di Karangmalang, Kudus, sebagai Sanggar Muria Batik Kudus.
Di sanggar batik yang berdiri di lahan seluas 900 m2 itu, pengunjung mulai dari siswa TK hingga mahasiswa bebas datang untuk belajar kebudayaan Kudus hingga membatik kudus, gratis.
“Batik kudus memiliki kekhasan, sejarah dan filosofi, kita harus menggerakkannya. Kalau bukan kita, siapa lagi. Masyarakat harus mencintai, supaya generasinya tidak punah, industri kreatif batik kudus terus hidup, dan terjamin banyak lapangan kerja,” kata dia. (*/MI)