Perajin batik tulis khas Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, mulai mencoba menggunakan pewarna alami untuk mengurangi ketergantungan pada produk pewarna impor yang harganya cenderung mahal karena mengikuti fluktuasi kurs dollar AS.
Untuk menggunakan pewarna alami, perajin dituntut kreatif dan memiliki motivasi tinggi karena bahan-bahan alami yang digunakan sejauh ini memang belum dijual secara bebas di pasaran.
Perajin batik tulis harus sering melakukan uji coba dengan memanfaatkan bahan baku yang ada di lingkungan sekitar. “Konsep penggunaan warna alami, memanfaatkan bahan baku alam yang ada di sekitar lingkungan sendiri, sehingga bahan baku untuk membuat warna alami benar-benar murah,” kata pemilik Sanggar Muria Batik Kudus, Yuli Astuti, di Kudus, Selasa (24/5).
Bahkan, kata dia, bahan baku yang dipakai sama sekali tidak membeli, melainkan cukup memanfaatkan yang sudah tersedia di alam.
Uji coba yang berhasil dilakukan dalam menggunakan bahan alam sebagai pewarna batik tulis, salah satunya dengan daun mangga.
Karena konsepnya memanfaatkan bahan baku alam yang ada di sekitar, kata dia, perajin batik tulis memang dituntut kreatif dan inovatif karena harus sering melakukan uji coba bahan alam yang ada di sekitar guna mengetahui kualitas warnanya.
“Hampir semua bahan alam yang ada di lingkungan sekitar bisa menghasilkan warna. Akan tetapi, untuk menghasilkan warna yang dibutuhkan untuk produk batik tulis, tentu dicari yang memiliki daya ikat cukup kuat atau tidak mudah luntur,” ujarnya.
Baca Juga :
Selama Ramadhan, Batik Kudus Laris Manis
Jangan sampai, kata dia, penggunaan bahan baku alam justru membebani perajin batik sendiri, sehingga biaya proses produksinya tentu tidak berbeda jauh dengan menggunakan pewarna kimia.
Dalam rangka menambah pengetahuan soal bahan baku alam yang bisa digunakan untuk pewarnaan batik, dia mengaku, rajin mengikuti seminar maupun pertemuan komunitas batik yang membahas soal pembuatan bahan pewarnaan dari bahan baku alami, meskipun pengujian dengan pewarnaan alami untuk batik dimulai sejak tahun 2010.
“Saya juga tidak malu untuk bertanya kepada perajin batik yang jauh lebih berpengalaman soal penggunaan pewarnaan alami,” ujarnya.
Semakin banyak informasi yang diperoleh, dia yakin, bisa dicoba di tempatnya, terutama bahan baku yang memang mudah didapatkan.
Untuk saat ini, kata dia, bahan baku alami untuk menghasilkan warna yang mudah didapatkan dan hasilnya memang bagus, yakni daun mangga yang menghasilkan warna hijau.
Bahan lain yang bisa dijadikan bahan baku untuk membuat pewarna alami, yakni kulit pohon tegeran untuk menghasilkan warna cokelat, kulit buah manggis menghasilkan cokelat muda, akar pohon mengkudu, serta kulit bawang merah yang bisa menghasilkan jingga kecokelatan.
Selain itu, kata dia, ada indigo yang merupakan tumbuhan penghasil warna biru alami dan saat ini sudah ada yang menjual dalam bentuk serbuk.
Keseriusannya menekuni pewarnaan alami, kata dia, karena nantinya bisa mengurangi ketergantungan terhadap produk pewarna impor yang harganya cenderung mahal dan susah diprediksi.
Padahal, kata dia, selaku pengusaha tentunya semua yang terkait dengan biaya produksi harus bisa diprediksi sejak awal, sehingga produk yang dijual di pasaran benar-benar menghasilkan keuntungan.
Apalagi, lanjut dia, penggunaan warna alami di dunia batik tulis bukan hanya muncul di Kudus, melainkan hampir di berbagai daerah mulai memanfaatkan bahan baku alam untuk menghasilkan warna untuk pewarnaan batik tulis.
Harga pewarna kimia saat ini berkisar 300 ribu hingga 1 juta rupiah per kilogramnya, sedangkan pewarna lokal seperti indigo dalam bentuk ekstrak per kilogramnya 250 ribu rupiah. Untuk menghasilkan warna lain dari bahan yang ada di sekitar justru tidak mengeluarkan biaya alias gratis.
Dari pemanfaatan bahan baku alam, tidak hanya dari sisi biaya produksinya yang bisa ditekan, namun perajin batik tulis juga mendapatkan keuntungan dari sisi harga produknya. “Harga setiap kain batik tulis yang proses pewarnaannya menggunakan bahan alami, cukup mahal,” ujar Yulli.
Segmen batik tulis dengan pewarnaan alami, kata dia, untuk sementara masih didominasi kalangan menengah atas yang memang paham dengan batik tulis.
Bagi masyarakat awam, kata dia, penghargaannya terhadap batik tulis dengan pewarnaan alami masih kurang, mengingat pemahamannya soal batik dimungkinkan juga masih minim.
Untuk itu, dia tidak henti-hentinya mempromosikan batik tulis khas Kudus ke masyarakat di berbagai daerah, khususnya masyarakat di Kudus.
Meskipun pembeli batik tulis khas Kudus yang menggunakan pewarnaan alami masih didominasi konsumen luar daerah, beberapa warga Kudus yang paham soal batik juga mulai tertarik membelinya, meskipun harganya sedikit lebih mahal.
Muncul anggapan, kata dia, batik tulis yang menggunakan pewarnaan alami terkesan bladus dan warnanya juga kurang tajam.
Keunggulan batik tulis dengan pewarnaan alami, kata dia, justru dari sisi warna yang dihasilkan jauh lebih lembut, ketimbang menggunakan pewarna kimia.
Motif batik tulis yang diproduksi menggunakan pewarna alami, yakni motif batik kontemporer, beras tumpah, galaran, dan pari joto.
Setiap mengikuti pameran batik di berbagai daerah, kata dia, batik tulis dengan pewarna alami selalu dibawa.
Untuk saat ini, kata dia, produksi batik tulis dengan pewarnaan alami baru mencapai 40-an persen, sehingga masih didominasi batik tulis dengan pewarna kimia.
Hingga kini, dia mengaku, belum menemukan cara yang lebih cepat dalam proses pewarnaan kain batik karena selama ini masih membutuhkan waktu hingga 10 hari.
“Pencelupannya perlu diulang hingga 60-an kali agar menghasilkan warna yang bagus,” ujarnya.
Proses yang lama tersebut, cukup sebanding dengan harga jual kain batik di pasaran yang laku dengan harga cukup mahal.
Setiap potong kain batik dengan zat pewarna alami dengan motif yang sama, katanya, bisa dijual dengan harga 200 ribu hingga 2 jutaan rupiah, sedangkan pewarnaan dengan zat kimia dijual dengan harga 125 ribu per potong hingga 1 jutaan rupiah sesuai dengan motif.
Motif batik yang dikembangkan, di antaranya kapal kandas, busana kelir hasil reproduksi, pakis haji muria, pari joto, ornamen kaligrafi, merak kateliu, merak pelataran, dan biji mentimun.
Selain itu, ada pula motif batik buket beras kecer, dlorong buketan, sekar jagad, ayam malah, lunglungan, serta “air plan” dan jangkar hasil reproduksi.
Sedangkan jumlah motif batik yang diproduksi hingga sekarang mencapai 50-an jenis motif batik tulis klasik maupun kontemporer.
Adanya sentuhan pewarna alami, beberapa kalangan memang tertarik membelinya karena era sekarang juga banyak yang kembali mengenang masa lampau yang serba alami. (ant/fb)